|
Menko PMK, Puan Maharani berencana impor guru asing mengajar di Indonesia |
Isu rencana Menko PMK, Puan Maharani akan mengimpor guru asing untuk mengajar di Indonesia menjadi perbincangan yang cukup hangat di tengah masyarakat. Terlebih para guru yang hingga saat ini berstatus sebagai honor umumnya mengecam rencana kebijakan tersebut.
"Kita ajak guru dari luar negeri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia," kata Puan saat menghadiri diskusi Musrenbangnas, Jakarta, Kamis (9/5) seperti dilansir Antara.
Menurut Puan jika ada kendala bahasa, maka akan difasilitasi dengan penyediaan banyak penerjemah serta perlengkapan alih bahasa.
Oleh karena itu, Puan mengatakan bakal meminta pihak-pihak berkepentingan seperti sekolah untuk menyampaikan kriteria pengajar yang dibutuhkan dan berapa jumlahnya. Usulan tersebut, sambungnya, akan dikoordinasikan untuk didatangkan.
"Alih-alih mengimpor guru asing, nasib guru honor dalam negeri saja tak ada kepastian. Bagaimana nasib kami wahai pemerintah?" kata salah seorang guru honorer yang menentang rencana itu.
Mereka yang mengkritik berharap agar rencana tersebut dibatalkan. Mereka cemas dengan keberadaan guru asing nantinya akan menambah masalah baru dan mengancam nasib mereka.
Namun, apa yang disampaikan oleh salah satu eks guru swasta berikut membuat pandangan orang selama ini tentang rencana impor guru asing tak seenak membalikan telapak tangan. Bagaimana pernyataannya? Berikut tulisannya yang ia posting di salah satu grup IGI medsos Facebook.
Ribut-ribut Guru Asing
Entah berapa tahun lalu, saya bersama dua orang teman iseng-iseng melamar guru bahasa Indonesia di luar negeri. Dua orang teman saya berhasil, saya gagal. Bahasa Inggris saya buruk.
Saya tertarik mengajar di sana, New Zealand, setelah sebelumnya pernah menemani dua turis dari Belanda. Dua orang turis ini bekerja sebagai guru SD. Usianya masih sangat muda, dua puluh lima tahunan. Gila kan... Guru SD bisa jalan-jalan ke luar negeri dengan uang pribadi? Gajinya pasti besar!
Ketika itu saya mengajar di SD swasta di Jakarta. Jangankan untuk jalan-jalan keluar negeri. Untuk bisa pulang kampung ke Magelang saja, saya hanya mampu enam bulan sekali: Desember dan Juni.
Jomplang bener penghasilan saya dan dua turis yang sempat saya temani itu!
Gaji guru sekarang jauh lebih baik daripada waktu itu, tahun 1990-an. Apalagi bagi guru yang mendapatkan sertifikasi. Tetapi saya yakin, segede-gedenya gaji guru di Indonesia, tetap kalah gede dengan gaji guru di luar negeri.
Malaysia, misalnya. Rata-rata gaji guru di sana Rp22 juta lebih per bulan; Brunei Rp24 juta; Filipina Rp10 juta. Jangan tanya Singapore... Gaji rata2 guru di sana lebih tinggi daripada guru pemula di Amerika.
Berapa gaji guru pemula di Amerika? Konon, sekitar 45 juta rupiah sebulan. Jerman Rp87 juta dan Jepang Rp74 juta.
Apa itu artinya? Kalaupun menteri Puan benar-benar ingin mengimpor guru; emangnya negara berani bayar dengan standar mereka plus fasilitas-fasilitas lain yang pasti diminta? Tidak perlu setiap sekolah ada guru impor. Satu kabupaten/kota satu guru impor saja... Silakan dihitung berapa anggaran negara harus dikeluarkan untuk menggaji mereka.
Taruhlah menteri puan nekad tetap mengajukan anggaran untuk guru impor... Anda yakin DPR setuju? Kecuali menteri puan akan menggaji mereka dengan uang pribadi, lain soal.
Jadi, buat apa guru meributkan guru impor yang nyaris mustahil itu? Jauh lebih produktif kita meningkatkan kemampuan diri dan kalau perlu bertarung jadi guru di luar negeri. Anda nggak ngiler digaji 45 juta sebulan, misalnya...??
Sumber tulisan: https://web.facebook.com/groups/igipusat/permalink/10157695071786393/
Jadi, dari tulisan di atas tentu kita semua menyadari bahwa keinginan untuk mendatangkan guru dari luar negeri sebenarnya adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Rencana "impor" guru tidak bisa terlaksana tanpa persetujuan pihak legislatif sebagai pengawas pemerintahan. Semoga bermanfaat!